Nama : devi yunita sari
Nik: 155040100111021
Transformadi ke arah pertanian berbudaya
Suatu tinjauan teoritik
arif satria
Pendahulauan
Pembangunan ekonomi nasional telah menunjukkan adanya transformasi struktur perekonomian dari pertanian ke industri.hal ini dibuktikan dengan meningkatnya peran sektor industri sebesar12 persen dan menurunya peran sektor pertaniaan sebesar 35 persen dalam produk domestik bruto (pdb).oleh karena itu penting untuk melakukan industrialisasi suatu masyarakat berbudaya dalam sektor pertanian. Dan dalam penguatan mendukung proses industrialiasisasi pertanian dipwrlukanya pembangunan paradigma baru pembangunan pertanian dalam sektor industri.
Pertanian berbudaya industri: paradigma baru pembangunan pertanian
Pemikiran pertanian pedesaan sebagai dasar acuan dalam memahami dinamika masyarakat pertanian.masyarakat secara kultural memberikan respon yang lambat terhadap tekanan penduduk, telah mengalami evolusi yang lambat hal ini dikarenakan adanya preferensi petani pada keperluan sosial dari pada keperluan ekonomi. bagi petani jawa-madura, yang terpenting adalah yerpenuhinya kebutuhan hidup keluarga (orirntasi subsisten) serta ketenangan batin. Menghadapi tekanan perduduk, mereka memperluas areal pertanian, namun tetap dengan teknologi dan organisasi kerja seperti semula atau disebud static expansion. Beberapa tekanan antara lain mrningkatnyabkualitas hidup masyarakatbyang mengubah kebutuhan dan selera, serta meluasnya industrialisasi. Dan masalah serius dalam pertnian yaitu menyempitnya areal lahan pertanian akibat konversi untuk kepentingan pemukiman maupun imdustri: petani kekurangan buruh tani, halbini disebabkan tertarikya tenaga kerja ke wilayah urban serta kurang tertariknya kalangan muda untuk bertani: turunya produksi pertanian: perdagangan bebas yang kemungkinan membanjiri produk impor di pasar domestik dan menuntut daya saing: meningkatnya kebutuhan akan produk pertanian. Oleh karena itu pertanian berbasis luas lahan dan tenaga kerja tidak relevan khusunya di jawa, sebaliknya pertanian berbasis teknologi atau pertanian modern semakin dibutuhkan.sehingga pertanian yang berbudaya industri dikelola secara industri dengan organisasi kerja yang terpesialisasi, efisien, dan produktif.
Transformasi budaya: dari budaya peasant ke budaya petani industri
Perbedaan coraknpertanian tradisional dari pertanian industri dapat dilihat dari organisasi kerjanya dimana para petani berkerja. Organisasi dicerminkan dari budaya petani atau komunitas petani.
Budaya dan perilaku ekonomi petani"peasant"
Definisi peasant menurut beberapa ahli:
Menurut tonger, petani adalah sub kultur atsu kultur besar.
menurut booke, peasant yaitu: lambatnya respon petani terhadap tekanan penduduk pada petani disebabkan oleh: adanya sikap limited needs
menurut warton, peasanta yaitu: tingkat kontak dengan masyarakat luar yang relatif rendah atau lokalitanya tinggi: tingkat motivasi aktualisasi rendah: meningkatnya kualitad hidup masyatakat yang mrngubah selera dan kebutuhan: luasnua area industrialisasi.
Menurut warton, peasant terbadi menjadi dua yaitu:
1.subsistensi yaitu kondisi dimana hasil pertanian lebih dari lima puluh persen dikonsumsi sendiri.
2. semi subsisten yaitu kondisi dimana hasil pertanian kurang dari lima puluh persen sendiri.
Budaya dan perilaku ekonomi petani industri
Budaya industri merupakan budaya yang menerapkan teknologi untuk memacu kualitas, efisien , dan produktivitas.ciri-ciri pokok landasan rasional petani industri, antara lain:
1.pengetahuan merupakan landasan utama dalam mengambil keputusan
2.kemajuan yeknologi sebagai instrumen utama dalam mengellola sumberdaya
3.mekanisme pasar merupakan pilar utama dalam produksi barang dan jasa
4.mengutamakan efisiensi dan produktifitas dalam pengolahan sumberdaya
5.mutu dan keungulan merupakan orientasi tujuan
6.profesionalitas yang tinggi merupakan karakter
7.perekayasaan untuk tidak bergantung pada alam.
Dalam hal kelembagaan petani, diperlukanya modernisasi manusia meliputi:
1.kesediaan dan penerimaan akan budaya baru
2.pandangan ditujukan pada masa kini dan masa yang akan datang
3.berperan aktif dan kritis pada peruban yang terjadi
4.percaya pada ilmu dan teknologi
5.percaya pada imbalan seseorang bergantung pada tindakanya dan mau mengahatgai hak orang lain.
Model transformasi
Tahap perkembangan petani
Petani primitif=>petani subsisten=>petani komersil=>peyani industri
Transformasi pertanian dikhususkan pada percepatan atau model evolusi yang dipercepat dengan penerapan teknologi baru yang disetai dengan kesiapan masyarakat untuk mengunakan dan mengembangkan teknologi tersebud(eksternal) dan disertai dengan pembangunan sikap mental dan budaya(internal).
Peran negara
Peran negara dibagi menjadi dua yaitu:
1.skala mikro, berupa program-program pembangunan pertanian pedesaan secara langsung.
2.skala makro, menyangkut keputusan politik dalam sistem ekonomi.
Salah satu peran pemerintah adalah dengan mengembangkan industrialisasi pedesaan. Yang didalamnya berorientasi pada perindutrialisasi pertaniaan di tingkat on farm (usaha tani) yang berarti mrngarahkan petani ke cara kerja industri baik secara fisik(teknologi), budaya maupun organisasi kerja disertai partisipasi penuh masyarakat petani desa tersebud.
Penutup
Transformasi pertanian berbudaya industri sangat perlu diterapkan diindonesia dalam mengimbangi cepatnya laju industrialisasi dan perdagangan bebas. Dalan transformasi industri perlu memperhatikan aspek struktur sosial dan budaya yang mendalam agar kelak tidak menciptakan kesenjangan sosial.
Dalam proses Transfotmasi pertanian berbudaya industri melalui penyiapan dan pengembangan pematangan petani dengan kerja industri. Oleh kareba itu diperlukanya kebijakan politik yang tepat dari pemerintah untuk mempertanguh pertaniaan di indonesia dengan mengembangkan pertanian industri.
Andik
Prasetyo
155040100111022
Agribisnis
A
Transformasi ke Arah Pertanian Berbudaya Industri
Pembangunan ekonomi nasional menjadi bukti adanya
pengalihan struktur perekonomian dari pertanian ke industri. Dalam PDB, ekonomi bertindak sebagai indikator yang
memperihatkan penurunan pangsa pertanian serta peningkatan pangsa industri.
Proses industrialisasi yang cukup gencar dillakukan serta cepat mengakibatkan
tertinggalnya sektor pertanian dari pada industri. Oleh karena itu,
industrialisasi seharusnya tidak hanya dimaknai sebagai upaya pembangunan
industri secar fisik, tetapi juag pembangunan industri secara budaya yang
menghasilan masyarakat yang berbuadaya meski masih bergerak di sektor
pertanian.
Pertanian
Berbudaya Industri: Paradigma Baru Pembangunan Pertanian
Pemikiran
pertanian pedesaan sebagai dasar acuan dalam memahami dinamika masyarakat
pertanian.masyarakat secara kultural memberikan respon yang lambat terhadap
tekanan penduduk, telah mengalami evolusi yang lambat hal ini dikarenakan
adanya preferensi petani pada keperluan sosial dari pada keperluan
ekonomi. bagi petani jawa-madura, yang terpenting adalah yerpenuhinya
kebutuhan hidup keluarga (orirntasi subsisten) serta ketenangan batin.
Menghadapi tekanan perduduk, mereka memperluas areal pertanian, namun tetap
dengan teknologi dan organisasi kerja seperti semula atau disebud static
expansion. Beberapa tekanan antara lain mrningkatnyabkualitas hidup
masyarakatbyang mengubah kebutuhan dan selera, serta meluasnya industrialisasi.
Dan masalah serius dalam pertnian yaitu menyempitnya areal lahan
pertanian akibat konversi untuk kepentingan pemukiman maupun imdustri: petani
kekurangan buruh tani, halbini disebabkan tertarikya tenaga kerja ke wilayah
urban serta kurang tertariknya kalangan muda untuk bertani: turunya produksi
pertanian: perdagangan bebas yang kemungkinan membanjiri produk impor di pasar
domestik dan menuntut daya saing: meningkatnya kebutuhan akan produk pertanian.
Oleh karena itu pertanian berbasis luas lahan dan tenaga kerja tidak relevan
khusunya di jawa, sebaliknya pertanian berbasis teknologi atau pertanian modern
semakin dibutuhkan.sehingga pertanian yang berbudaya industri dikelola secara
industri dengan organisasi kerja yang terpesialisasi, efisien, dan produktif.
Transformasi Budaya: Dari Budaya Peasant ke Budaya Petani-Industri
Budaya
dan Perilaku Ekonomi Petani “Peasant”
Budaya
petani bisa diartikan sebagai suatu budaya yang terbentuk dari ciri tertentu.
Adapun cirri dari peasant itu sendiri:
1. Tidak
tanggap respon akibat keterbatasan kebutuhan
2.
Solidaritas tinggi yang menyebabkan
pembatasan dengan “dunia luar”
3.
Rendahnya motivasi diri dari individunya
4. Memiliki
pandangan hidup serta kepercayaan yang homogen akibat rendahnya pembagian
kerja.
Menurut Wolf dalam Zakaria (1974) menyebutkan
3 ciri kategori petani :
1.
Seorang petani
(peosant) menghasilkan komoditi pertaniannya dengan bercocok tanam.
2.
Seorang petani adalah
pemilik atau penggarap yang mempunyai otoritas kontrol terhadap tanah yang
digarapnya.
3.
Tujuan utama
berproduksi bagi seorang petani adalah untuk keperluan rumah tangganya.
Budaya dan
Perilaku Ekonomi Petani Industri
Budaya industri merupakan cerminan dari landasan sikap rasional
sehingga lebih mengakses pada penguasaan teknologi untuk memecu kualitas,
efisiensi, dan produktivitas. Ciri pertanian industri dan budaya adalah tipe
solidaritas organis. Tipe solidaritas organis ditandai dengan adanya
diferensiasi sosial melalui pembagian kerja yang tinggi. Tipe solidaritas
organis perlu dibentuk untuk mewujudkan pertanian yang berorientasi nilai
tambah (added valued). Dengan orientasi nilai tambah diharapkan mampu
meningkatkan nilai tukar komoditi pertanian yang selama ini terus menurun.
Model Transformasi
Tantangan
industrialisasi dan perdagangan bebas membutuhkan corak pertanian yang efisien,
produktif, berdaya saing dan berorientasi nilai tambah. Corak pertanian
demikian adalah padat teknologi dan berorientasi pasar. Jadi, pertanian dan
industri tidak lagi sebagai dikotomi sektor tradisional modern, tetapi lebih
merupakan perbedaan occupational status saja bagi masyarakat. Hal ini karena
keduanya telah industrialized yang dicirikan dengan karakteristik budaya
kerjanya yang sama.
Tantangan industrialisasi dan perdagangan bebas membutuhkan corak
pertanian yang efisien, produktif, berdaya saing dan berorientasi nilai tambah.
Corak pertanian demikian adalah padat teknologi dan berorientasi pasar. Jadi,
pertanian dan industri tidak lagi sebagai dikotomi sektor tradisional modern,
tetapi lebih merupakan perbedaan occupational status saja bagi masyarakat. Hal
ini karena keduanya telah industrialized yang dicirikan dengan karakteristik
budaya kerjanya yang sama.
Peran pemerintah dalam transformasi ke arah pertanian-industri
sangatlah menentukan. Peran ini tidak hanya dalam level mikro berupa
program-program pembangunan pertanian pedesaan secara langsung, tetapi juga
pada level makro yang menyangkut keputusan politik dalam sistem ekonomi.
Tantangan industrialisasi dan perdagangan bebas yang sudah di depan mata, perlu
direspon secra cepat oleh sektor pertanian. Peran pemerintah terletak dalam
mengaitkan pertanian untuk masuk dalam skema industrialisasi di Indonesia.
Kesadaran pemerintah
bahwa pertanian telah dan akan mendukung industrialisasi adalah penting. Hal
itu mengingat pengalaman-pengalaman industrialisasi yang berhasil di
negara-negara maju, termasuk Korea Selatan , ternyata disebabkan karenaposisi
pertanian yang sangat kuat. Maka, mempertangguh pertanian merupakan persyaratan
bagi industrialisasi. Kisah Korea Selatan dapat menjadi representasi model
industrialisasi dengan kekuatan sektor pertanian.
Bagi Indonesia di tengah industrialisasi dan perdagangan bebas
ini, salah satu program yang signifikan sebagai perwujudan paradigma pertanian
berbudaya industri adalah “ industrialisasi pedesaan”. Industrialisasi pedesaan
akan mengoreksi dan memperbaiki keseimbangan struktur industri besar, sedang,
dan kecil (Sajogyo dan Tambunan 1991). Dalam paradigma pertanian
berbudaya industri, maka industrialisasi pedesaan tidak dimaknai semata-mata
sebagai pembangunan “industri” secara fisik dan massal di pedesaan. Tetapi,
lebih pada “ mengindustrikan” masyarakat pedesaan melalui “industrialisasi”
pertanian di tingkat on farm (usaha tani) dengan arti mengarahkan pertanian ke
cara kerja “industri” baik secara fisik (teknologi) maupun budaya dan
organisasi kerja.
Peran negara dalam
industrialisasi pedesaan tidak hanya dalam bentuk intervensi langsung melalui
program-program sebagai mana peran negara dalam revolusi hijau, tetapi juga
pada intervensi kebijaksanaan di luar sektor pertanian dan pedesaan agar
kebijaksanaan tersebut memiliki kaitan signifikan bagi industrilisasi pertanian
pedesaan. (Andik Prasetyo)
Transformasi ke Arah Pertanian Berbudaya Industri
Fitriyah/155040100111023/A/AGRIBISNIS
Pertanian Berbudaya Industri: Paradigma Baru Pembangunan
Pertanian
Pertanian memiliki berbagai
persoalan karena kelambanan respon organisasi pertanian dengan kekuatan para
pertaninya menghadapi tekanan penduduk. Demographic
determinism dianggap sebgai kerangka
untuk memahami realitas kesenjangan antara industri dengan pertanian. Pada
industri ditunjukkan sebagian masyarakat merespon cepat melalui penemuan,
penerapan serta pengembangan teknologi. Sedangkan sebagian masyarakat lainnya
memberi respon lambat terhadap tekanan penduduk dikarenakan adanya preferensi
petani pada keperluan sosial daripada keperluan ekonomi.
Pertanian sekarang dapat diurut
dari variabel tekanan penduduk dengan melibatkan ariabel lainnya seperti
meluasnya batas wilayah perdagangan, meningkatnya kualitas hidup masyarakat
yang mengubah kebutuhan dan selera serta meluasnya industrialisasi. Masalah
serius yang dihadapi dalam pertanian adalah menyempitnya areal lahn, kekurangan
buruh tani, tantangan perdagangan bebas yang berkemungkinan membanjiri produk
impor, serta meningkanya jumlah penduduk. Kedepannya akan tercipta pertanian
yang berbudaya industri, artinya pertanian dikelola secara industri, dengan
organisasi kerja yang terspesialisasi, efisien, dan produktif.
Transformasi Budaya: Dari Budaya Peasant ke Budaya Petani-Industri
Budaya dan Perilaku
Ekonomi Petani “Peasant”
Menurut Rogers petani merupakan subkultur dari kultur yang besar yg
memiliki sepuluh ciri salah satunya perceived limited good. Menurut Boeke ,
lambatnya respon penduduk Jawa terhadap tekanan penduduk karena adanya sifat
limited needs (Amri Marzali, 1993). Warthon (1969) juga membuat kriteria sosial
yaitu tingkat kontak keluar relatif rendah dan motivasi yang rendah. Kemudian
Wolf dalam Zakaria (1974) membuat tiga kategori ciri petani: 1. Petani
menghasilkan komoditi dengan bercorak tanam, 2. Petani adalah pemilik atau
penggarap yang mempunyai otoritas kontrol terhadap tanah yang digarap, 3.
Tujuan utama berproduksi bagi seorang petani untuk keperluan rumah tangga. Dan
masih banyak lagi teori dari pakar lainnya namun konsep-konsep demikian perlu
diverifikasi untuk konteks Indonesia kini.
Kondisi petani di lapangan
petani yang proto-peasant atau post peasant kaLau tidak ingin dikatakan
peasant, nampaknya menjadi ciri para petani di Indonesia, setidaknya di Jawa
pasca Revolusi Hijau. Perubahan dari peasant ke post-peasant meski belum menjadi
petani komersial adalah hasil dari pembangunan pertanian selama PJP I.
Budidaya dan
Perilaku Ekonomi Petani Industri
Budaya-industri yang modern
merupakan kebalikan dari budaya peasant. Ginanjar (1996) mengidentifikasi ciri
pokok landasan rasional dalam pertanian-industri, adalah sebagai berikut:
1. Pengetahuan merupakan landasan utama dalam pengambilan keputusan;
2. Kemajuan teknologi merupakan instrumen utama dalam pemanfaatan
sumberdaya;
3. Mekanisme pasar merupakan media utama dalam transaksi barang dan jasa;
4. Efisiensi dan produktivitas sebagai dasar utama dam alokasi sumberdaya
;
5. Mutu dan keunggulan merupakan orientasi, wacana, sekaligus tujuan;
6. Profesionalisme merupakan karakter yang menonjol;
7. Perekayasaan harus menggantikan ketergantungan pada alam, sehinggan
produk yang dihasilkan memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan dalam hal
mutu, jumlah, berat, dan lain-lain.
Selain
itu ciri pertanian akan didukung oleh budaya modern yang mengacu pada pemikiran
Alex Inkeles, budaya modern mencakup:
1. Kesediaan untuk menerima pengalaman baru dan keterbukaan bagi
pembaharuan dan perubahan;
2. Memiliki kesanggupan untuk
membentuk atau mempunyai pendapat mengenai sejumlah persoalan dan hal-hal yang
tidak saja timbul disekitarnya;
3. Tanggapannya mengenai dunia opini lebih bersifat demokratis; ia sadar
akan kergaman sikap dan opini disekitarnya;
4. Pandangannya ditujukan pada masa kini dan masa depan, bukan masa
lampau;
5. Menginginkan dan terlibat dalam rencana serta organisasi dan
menganggapnya sebagai sesuatu yang wajar dalam hidupnya;
6. Berada dalam keadaan yang dapat diperhitungkan; percaya akan adanya
sesuatu dunia yang cukup tertib dibawah kendali manusia
7. Sadar akan harga diri orang lain dan bersedia menghargainya;
8. Percaya pada ilmu dan teknologi;
9. Percaya bahwa imbalan yang diberikan sesuai dengan tindakan-tindakan.
Ciri
pertanian-industri dan budaya modern diatas perlu dibentuk untuk mewujudkan
pertanian yang berorientasi nilai tambah(added value). Dengan orientasi nilai
tambah diharapkan mampu meningkatkan nilai tukar komoditi pertanian yang selama
ini terus menurun.
Model Transformasi
Pada pola transformasi petani
diposisikan dalam kutub tradisional, oleh karena itu seharusnya transformasi yang dilakukan
berdasarkan kenyataan empiris. Transformasi berdasarkan asumsi bahwa petani
Indonesia telah melewati masa subsisten atau ciri-ciri peasant. Istilah yang
tepat untuk petani Jawa psca Revolusi Hijau adalah post-peasant. Dengan begitu
petani Indonesia, khususnya Jawa, kini sedang dalam masa transisi menuju petani
komersial, sebgai akibat revolusi hijau, revolusi angkutan, serta revolusi
komunikasi dan informasi (Collier et.al, 1996).
Tantangan industrialisasi dan
perdagangan bebas membutuhkan corak pertanian yang efisien, produktif, berdaya
saing, dan berorientasi nilai tambah. Jadi pertanian dan industri lebih
merupakan perbedaan occupationalstatus
saja bagi masyarakat. Transformasi menuju sosok petani –industri seolah-olah
merupakan “lompatan” dimana sehasrusnya melewati tahap petani komersial
terlebih dahulu. Gambar :
Tahap Perkembangan Petani
Petani Primitifà Petani Subsistenà Petani
Komersialà Petani
Industri
Transformasi yang dimaksudkan adalah
berupa percepatan atau model evolusi yang dipercepat (accelerated evolution)dengan laju pergerakkan yang dipercepat
melalui penerapan teknologi baru yang disertai peyiapan kematangan masyarakat
untuk menggunakan dan mengembangkan teknologi tersebut. Namun accelerated evolutiontidak hanya
bersifat material, tapi juga pada sikap mental dan budaya.
Variabel budaya-lokal masuk dalam kerangka
transformasi sabagai suatu landasan untuk menghindari proses alienasi kerja
akibat industrialisasi. Masalah alienasi menganggap bahwa manusia adalah homo faber atau manusia pekerja. Dan
menurut Marx kerja adalah alat penting yang dipakai manusia untuk memperoleh
makna dan memenuhi kebenaran. Oleh karena itu, dalam pola pertanian-industri
ini, pola manajemen usaha perlu memperhatikan catatan-catatan Marx tersebut.
Peran Negara
Peran pemerintah terhadapa transformasi ke arah pertanian industri
tidak hanya dalam level mikro berupa
program-progam pembangunan pertanian pedesaan secra langsung, tetapi juga pada
level makro yang menyangkut keputusan politik dalam sistem ekonomi. Peran
pemerintah terletak dalam mengaitkan pertanian untuk masuk dalam skenario
industrialisai di Indonesia. Oleh karena itu, industrialisasi pun sudah
seharusnya diarahkan pada target yang focused.
Bagi Indonesia di tenagh industrialisasi
dan oerdagangan bebas ini, salah satu program yang signifikan adalah
“industrialisasi pedesaan” Industrialisasi pedesaan dimaknai pada
“mengindustrikan” masyarakat pedesaan melalui
“industrialisasi” pertanian di tingkat on farm (usaha tani) dengan ari mengarahkan pertanian ke cara kerja
“industri” baik secara fisik (teknologi) maupun budaya dan organisasi kerja.
Juga ,industrialisasi harus disertai pengembangan partisipasi penuh dari
masyarakat tani pedesaan tersebut (lihat Arif Satria, 1994).
Peran negara dalam industrialisasi
pedesaan tidak hanya dalam bentuk intervensi langsung melalui program-program
sebagaimana peran negara dalam revolusi hijau, tetapi juga pada intervensi
kebijaksanaan di luar sektor pertanian dan pedesaan agar kebijaksanaan tersebut
memiliki kaitan signifikasi bagi industrialisasi pertanian pedesaan.
Nur Azizah Dyahsari 155040100111024
Transformasi ke Arah Pertanian Berbudaya Industri
Pembangunan ekonomi nasional telah menunjukkan adanya transformasi struktur perekonomian dan pertanian ke industry. Buktinya dengan adanya penurunan pertanian yang semula 35% menjadi 18,6% pada PJP I dan meningkatnya pangsa industry dalam PDB. Pada PJP II meningkat menjadi 22,33%. Inilah yang disebut “keberhasilan” transformasi.
Penurunan pangsa pertanian yang tidak seimbang dengan penurunan terhadap total tenaga kerja menunjukkan bahwa pertanian semakin tidak produktif dan tidak efisien. Data tersebut menunjukkan bahwa pendapatan perkapita tenaga kerja di sektor pertanian menurun.
Proses industrialisasi ternyata belum mengait ke sector pertanian. Hal ini mengakibatkan tertinggalnya sector pertanian dari industry. Nilai tukar petani belum juga membaik, produktivitas dan efisiensi rendah, serta sikap mental dan budaya yang masih tradisional membawa mereka kepada ketertinggalan.
Oleh karena itu, industrialisasi seharusnya tidak hanya dimaknai sebagai upaya pembangunan industry secara fisik, tetapi juga pembangunan industry secara budaya.
Pengertian industrialisasi yang mengait ke pertanian menunjukkan perlunya respon pertanian bila dimmasukkan kedalam skema industrialisasi. Respon tersebut sangat memerlukan paradigm baru pembangunan pertanian sebagai suatu hal yang mendasar sekali.
Paradigma Berbusaya Industri: Paradigma Baru Pembangunan pertanian
Berbagai persoalan pertanian muncul karena kelambanan respon pertanian. Revolusi industry yang monumental bagi Industrialisasi Eropa, oleh Wellerstein dianggap sebagai respon atas tekanan penduduk bahwa penduduk berusaha mencegah menurunnya standar hidupnya dengan melakukan penemuan-penemuan teknologi.
Meskipun demikian pemikiran tersebut mendapat banyak tentangan karena dianggap mengabaikan arti penemuan-penemuan teknologi pada abad 18 di Eropa.
Demographic determinism telah dianggap sebagai “kerangka” dalam memahami realitas kesenjangan antara industry dan pertanian. Industry bangkit karena ada respon yang cepat dari sebagian masyarakat atas tekanan penduduk melalui penemuan, penerapan, serta pengembangan teknologi, sebagaimana fenomena sejarah munculnya revolusi industry.
Lambatnya respon penduduk dikarenakan preferensi petani pada keerluan social daripada keperluan ekonomi, khususnya bagi petani Jawa dan Madura. Bagi mereka yang terpenting adalah terpenuhinya kebutuhan kebutuhan hidup keluarga serta ketenangan batin.
Kenyataan pertanian dapat diurut dari variable tekanan penduduk, walaupun dalam perkembangannya melibatkan variabel lain seperti meluasnya batas wilayah perdagangan, meningkatnya kualitas hidup serta meluasnya industrialisasi.
Selama kurun waktu 1984-1994 telah terjadi konversi lahan pertanian sebesar 1 juta hektar, sehingga dalam kurun waktu tersebut sawah di Jaa berkurang 100.000 Ha/tahun. Akibatnya produksi gabah hilang sebesar 7,5 juta ton/tahun.
Masalah pertanian lainnya adalah kekurangan buruh tani. Penyebabnya yaitu tertariknya tenaga kerja ke wilayah urban setrta kurang tertariknya kalangan muda untuk bertani.
Pertanian yang berbasis pada luas lahan dan tenaga kerja akan semakin kurang relevan, khususnya di Jawa. Sebaliknya, pertanian yang berbasis pada teknologi akan semakin dibutuhkan. Pola tersebut merupakan pertanian modern. Namun pertanian modern yang menggunakan tolak ukur teknologi perlu diperkuat dengan adanya organisasi kerja dengan budaya industrial, sehingga pertanian masa depan yaitu pertanian yang berbudaya industri.
Gagasan pertanian yang berbudaya industry perlu menjadi paradigm pembangunan pertanian. Keterbatasan lahan di Jawa yang kemudian diantisipasi melalui ekstensifikasi di luar Jawa juga memerlukan paradigm tersebut.
Transformasi Budaya: Dari Budaya Peasant ke Budaya Petani-Industri
Perwujudan paradigm diatas menunjukkan perlunya transformasi budaya. Oleh karena itu, pemahaman terhadap variable budaya dalam rangka transformasi mewujudkan pertanian modern adalah penting.
Budaya dan Perilaku Ekonomi Petani “Peasant”
Ciri-ciri dari subkultur daru suatu kultur yang besar menurut buku Rogers, yaitu: (1) mutual distrust in interpersonal relation; (2) perceived limited good; (3) dependence on and hostility toward government authority; (4) familiism; (5) lack of innovativeness; (6) fatalism; (7) limited aspiration; (8) lack of deferred gratification; (9) limited view of the world; (10) low empsthy (Rogers, 1969: 25)
Kesepuluh ciri tersebut berkaitan sehingga membentuk suatu sistem budaya. Boeke melihat lambatnya respon petani Jawa terhadap tekanan penduduk banyak disebabkan adanya sikap limited needs (Amri Marzali. 1993). Eric Wolf juga menerangkan pembatasan perdagangan dengan luar kunitas serta solidaritas social yang diperkuat dengan upacara-upacara. Wharton (1969) juga membuat kriteria social budaya untuk memahami konsep petani. Pertama, tingkat kontak dengan masyarakat luar. Kedua, tingkat motivasi aktualisasi diri.
Kerangka Emile Durkheim menurut bukunya Division of Labour in Society (1964) sistem budaya peasants tergolong tipe solidaritas mekanis. Masyarakat tersebut memiliki pandangan, kepercayaan, dan gaya hidupyang sama, sehingga cenderung homogeny.
Transformasi budaya telah menjadi wacana baik dalam studi antropologi, ekonomi, maupun politik. Dalam antropologi dikenal konsep redfield yang memahami masyarakat tani pada konteks budaya. Redfield memahami petani sebagai komunitas yang dinamis yang tengah mengalami transformasi karena adanya kontak budaya yang menimbulkan satu kontinum yang kemudian disebut sebagai “folk urban continum”. Bagi redfield yang membedakan petani dngan lainnya adalah dalam pandangannya terhadap dunia serta corak kehidupannya.
Sementara itu Eric Wolf mengembangkan konsep petani dalam aspek ekologi dan ekonomi. Konsepsi petani merupakan ciri occupational status. Kemudia Wolf dalam Zakaria (1974) membuat 3 kategori ciri petani:
- Seorang petani menghasilkan komoditi pertaniannya dengan bercocok tanam.
- Seorang petani adalah seorang pemilik aau penggarapyang mempunyai otoritas control terhadap tanah yang digarapnya.
- Tujuan utama berproduksi bagi petani adalah untuk keperluan rumah tangga
Definisi petani subsisten juga ditemukan dalam karya Theodore Shanin (1987) tentang petani subsisten tidak jauh berbeda dengan pengertian subsistensi produksi yang diungkapkan Warthon (1969). Salah satu krieria subsistensi produksi oleh Wharton diukur dari berapa jumlah hasil tani yang dikonsumsi dan dijual.
Wharton menjelaskan kriteria atau kualifikasi petani subsisten pertama, rasio hasil tani yang dijual sebagaimana yang sudah dijelaskan. Kedua, rasio buruh yang dipekerjakan dari total tenaga kerja yang dibutuhkan. Ketiga, tingkat teknologi yang mampu menggambarkan produktivitas pertanian. Keempat, endapatan dan taraf hidupnya. Kelima, kebebasan dalam mengambil keputusan. Kelima kriteria tersebut dikategorikan sebagai kriteria ekonomi.
Dalam melangsungkan kegiatan pertaniannya petani dihadapkan pada kenyataan yang mengharuskan petani mengambil keputusan. Menurut Soekartawi (1993) dalam proses pengambilan keputusan ini petani harus mempertimbangkan unsur resiko dan ketidakpastian. James Scott (1994) menggambarkan bahwa petani memiliki sikap safety first dan “enggan resiko”. Perilaku ekonomi petani yang demikian dilandasi adanya prinsip-prinsip moral.
Budaya dan perilaku ekonomi peasants yang dipaparkan Hayani dan Kikuchi dalam Amri Marzali (1993) merupakan budaya dari setting masalalu yang berbeda-beda, meskipun sering diakui bahwa konsep-konsep tersebut valid untuk generalisasi. Namun konsep demikian peril diverifikasi untuk konteks Indonesia kini.
Kondisi petani di lapangan demikian petani yang proto-peasant atau post-peasant kalau tidak ingin dikatakan peasant nampaknya menjadi ciri petani di Indonesia, setidaknya di Jawa pasca Revolusi Hijau. Perubahan dari peasant ke post-peasant meski belum menjadi petani komersial adalah hasil daro pembangunan pertanian selama PJP I.
Budaya dan Perilaku Ekonomi Petani Industri
Budaya industry merupakan cerminan dari landasan sikap rasional sehingga lebih mengakses pada penguasaan teknologi untuk memacu kualitas, efisiensi dan produktivitas. Ginanjar Kartasasmita, ketua Bappenas memberikan ceramah pada acara Dies Natalis IPB di Bogor 1996 yang mengidentifikasi ciri pokok landasan rasional dalam pertanian industry.
Selain aspek organisasi kerja industrial tersebut, ciri pertanian industry akan didukung oleh budaya modern. Mengacu pada pemikira Alex Inkeles dalam tulisanya berjudul “modernisasi manusia”.
Model Transformasi
Tantangan industrialisasi dan perdagangan bebas membutuhkan corak pertanian yang efisien, produktif, berdaya saing dan berorientasi nilai tambah. Corak pertanian demikian adalah padat teknologi dan berorientasi pasar. Jadi, pertanian dan industri tidak lagi sebagai dikotomi sektor tradisional modern, tetapi lebih merupakan perbedaan occupational status saja bagi masyarakat. Hal ini karena keduanya telah industrialized yang dicirikan dengan karakteristik budaya kerjanya yang sama.
Peran Negara
Peran pemerintah dalam transformasi ke arah pertanian-industri sangatlah menentukan. Peran ini tidak hanya dalam level mikro berupa program-program pembangunan pertanian pedesaan secara langsung, tetapi juga pada level makro yang menyangkut keputusan politik dalam sistem ekonomi. Tantangan industrialisasi dan perdagangan bebas yang sudah di depan mata, perlu direspon secra cepat oleh sektor pertanian. Peran pemerintah terletak dalam mengaitkan pertanian untuk masuk dalam skema industrialisasi di Indonesia.
Kesadaran pemerintah bhawa pertanian telah dan akan mendukung industrialisasi adalah penting. Hal itu mengingat pengalaman-pengalaman industrialisasi yang berhasil di negara-negara maju, termasuk Korea Selatan , ternyata disebabkan karenaposisi pertanian yang sangat kuat. Maka, mempertangguh pertanian merupakan persyaratan bagi industrialisasi. Kisah Korea Selatan dapat menjadi representasi model industrialisasi dengan kekuatan sektor pertanian.
Bagi Indonesia di tengah industrialisasi dan perdagangan bebas ini, salah satu program yang signifikan sebagai perwujudan paradigma pertanian berbudaya industri adalah “ industrialisasi pedesaan”. Industrialisasi pedesaan akan mengoreksi dan memperbaiki keseimbangan struktur industri besar, sedang, dan kecil (Sajogyo dan Tambunan 1991). Dalam paradigma pertanian berbudaya industri, maka industrialisasi pedesaan tidak dimaknai semata-mata sebagai pembangunan “industri” secara fisik dan massal di pedesaan. Tetapi, lebih pada “ mengindustrikan” masyarakat pedesaan melalui “industrialisasi” pertanian di tingkat on farm (usaha tani) dengan arti mengarahkan pertanian ke cara kerja “industri” baik secara fisik (teknologi) maupun budaya dan organisasi kerja.
Peran negara dalam industrialisasi pedesaan tidak hanya dalam bentuk intervensi langsung melalui program-program sebagai mana peran negara dalam revolusi hijau, tetapi juga pada intervensi kebijaksanaan di luar sektor pertanian dan pedesaan agar kebijaksanaan tersebut memiliki kaitan signifikan bagi industrilisasi pertanian pedesaan.
Nama : LAILATUL QOMARIA
NIM : 155040100111025
PRODI : AGRIBISNIS
KELAS : A
Transformasi ke Arah Pertanian Berbudaya Industri
Arif Satria
Berbagai persoalan pertanian muncul karena kelambanan respon organisasi pertanian dengan kekuatan petani-petaninya menghadapi tekanan penduduk. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya kesenjangan antara insudtri dan pertanian. Boeke dalam Amri Marzali (1993) menggambarkan bahwa lambatnya respon terhadap tekanan penduduk dikarenakan adanya preferensi petani pada keperluan sosial daripada keperluan ekonomi. Menghadapi tekanan penduduk, mereka memperluas areal pertanian namun tetap dengan teknologi dan organisasi kerja seperti semula. Inilah yang dikatakan Boeke sebagai static expansion.
Masalah pertanian lainnya kini adalah kekurangan buruh tani. Banyak faktor yang menyebabkan masalah ini, antara lain tertariknya tenaga kerja ke wilayah urban serta kurang tertariknya kalangan muda untuk bertani. Buruh tani dan petani di desa adalah angkatan tua. Dari banyaknya masalah pertanian mulai dari menyempitnya lahan yang sangat mungkin menurunkan produksi, disertai tantangan perdagangan bebas yang berkemungkinan membanjirnya produk impor di pasar domestik dan menuntut daya saing, meningkatnya jumlah penduduk yang meningkatkan kebutuhan akan produk pertanian, serta kekurangan buruh tani jelas menjadi agenda persoalan yang harus dipecahkan.
Gagasan pertanian yang berbudaya indusrti perlu menjadi paradigma pembangunan pertanian. Perwujudan paradigma pertanian bervudaya industri menunjukkan perlunya transormasi budaya. Transformasi budaya menggambarkan bahwa petani sebagai komunitas yang dinamis. Menurut Wolf dalam Zakaria (1974) menyebutkan 3 ciri kategori petani :
- Seorang petani (peosant) menghasilkan komoditi pertaniannya dengan bercocok tanam.
- Seorang petani adalah pemilik atau penggarap yang mempunyai otoritas kontrol terhadap tanah yang digarapnya.
- Tujuan utama berproduksi bagi seorang petani adalah untuk keperluan rumah tangganya.
Dalam melangsungkan kegiatan pertaniannya, petani dihadapkan pada kenyataan yang mengharuskan petani mengambil keputusan, seperti apakah harus menerima teknologi baru atau tidak, serta apakah harus mengambil kredit atau tidak.
Selanjutnya yang akan kita bahas adalah budaya dan perilaku ekonomi petani industri. Budaya industri merupakan cerminan dari landasan sikap rasional sehingga lebih mengakses pada penguasaan teknologi untuk memecu kualitas, efisiensi, dan produktivitas. Ciri pertanian industri dan budaya adalah tipe solidaritas organis. Tipe solidaritas organis ditandai dengan adanya diferensiasi sosial melalui pembagian kerja yang tinggi. Tipe solidaritas organis perlu dibentuk untuk mewujudkan pertanian yang berorientasi nilai tambah (added valued). Dengan orientasi nilai tambah diharapkan mampu meningkatkan nilai tukar komoditi pertanian yang selama ini terus menurun.
Tantangan industrialisasi dan perdagangan bebas membutuhkan corak pertanian yang efisien, produktif, berdaya saing dan berorientasi nilai tambah. Corak pertanian demikian adalah padat teknologi dan berorientasi pasar. Jadi, pertanian dan industri tidak lagi sebagai dikotomi sektor tradisional modern, tetapi lebih merupakan perbedaan occupational status saja bagi masyarakat. Hal ini karena keduanya telah industrialized yang dicirikan dengan karakteristik budaya kerjanya yang sama.
Peran pemerintah dalam transformasi ke arah pertanian-industri sangatlah menentukan. Peran ini tidak hanya dalam level mikro berupa program-program pembangunan pertanian pedesaan secara langsung, tetapi juga pada level makro yang menyangkut keputusan politik dalam sistem ekonomi. Tantangan industrialisasi dan perdagangan bebas yang sudah di depan mata, perlu direspon secra cepat oleh sektor pertanian. Peran pemerintah terletak dalam mengaitkan pertanian untuk masuk dalam skema industrialisasi di Indonesia.
Kesadaran pemerintah bhawa pertanian telah dan akan mendukung industrialisasi adalah penting. Hal itu mengingat pengalaman-pengalaman industrialisasi yang berhasil di negara-negara maju, termasuk Korea Selatan , ternyata disebabkan karenaposisi pertanian yang sangat kuat. Maka, mempertangguh pertanian merupakan persyaratan bagi industrialisasi. Kisah Korea Selatan dapat menjadi representasi model industrialisasi dengan kekuatan sektor pertanian.
Bagi Indonesia di tengah industrialisasi dan perdagangan bebas ini, salah satu program yang signifikan sebagai perwujudan paradigma pertanian berbudaya industri adalah “ industrialisasi pedesaan”. Industrialisasi pedesaan akan mengoreksi dan memperbaiki keseimbangan struktur industri besar, sedang, dan kecil (Sajogyo dan Tambunan 1991). Dalam paradigma pertanian berbudaya industri, maka industrialisasi pedesaan tidak dimaknai semata-mata sebagai pembangunan “industri” secara fisik dan massal di pedesaan. Tetapi, lebih pada “ mengindustrikan” masyarakat pedesaan melalui “industrialisasi” pertanian di tingkat on farm (usaha tani) dengan arti mengarahkan pertanian ke cara kerja “industri” baik secara fisik (teknologi) maupun budaya dan organisasi kerja.
Peran negara dalam industrialisasi pedesaan tidak hanya dalam bentuk intervensi langsung melalui program-program sebagai mana peran negara dalam revolusi hijau, tetapi juga pada intervensi kebijaksanaan di luar sektor pertanian dan pedesaan agar kebijaksanaan tersebut memiliki kaitan signifikan bagi industrilisasi pertanian pedesaan.
MAULLINA PRAMESTI
Transformasi ke Arah Pertanian Berbudaya Industri
Proses industrialisasi yang cukup gencar,cepat dan berhasil ternyata belum mengait ke belakang yakni ke sektor pertanian. Ini berakibat pada tertinggalnya sektor pertanian dari industry. Nilai tukar petani yang belum juga membaik, produktivitas dan efisiensi yang rendah, serta sikap ental dan budaya yang masih tradisional membawa mereka pada ketertinggalan.
Berbagai persoalan pertanian muncul karena kelambanan respon organisasi pertanian dengan kekuatan petani-petaninya menghadapi tekanan penduduk. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya kesenjangan antara insudtri dan pertanian. Boeke dalam Amri Marzali (1993) menggambarkan bahwa lambatnya respon terhadap tekanan penduduk dikarenakan adanya preferensi petani pada keperluan sosial daripada keperluan ekonomi. Menghadapi tekanan penduduk, mereka memperluas areal pertanian namun tetap dengan teknologi dan organisasi kerja seperti semula. Inilah yang dikatakan Boeke sebagai static expansion.
Masalah pertanian lainnya kini adalah kekurangan buruh tani. Banyak faktor yang menyebabkan masalah ini, antara lain tertariknya tenaga kerja ke wilayah urban serta kurang tertariknya kalangan muda untuk bertani. Buruh tani dan petani di desa adalah angkatan tua. Dari banyaknya masalah pertanian mulai dari menyempitnya lahan yang sangat mungkin menurunkan produksi, disertai tantangan perdagangan bebas yang berkemungkinan membanjirnya produk impor di pasar domestik dan menuntut daya saing, meningkatnya jumlah penduduk yang meningkatkan kebutuhan akan produk pertanian, serta kekurangan buruh tani jelas menjadi agenda persoalan yang harus dipecahkan. Oleh karena itu pertanian yang berbasis pada luas lahan dan tenaga kerja akan semakin berkurang.
Gagasan pertanian yang berbudaya indusrti perlu menjadi paradigma pembangunan pertanian. Perwujudan paradigma pertanian bervudaya industri menunjukkan perlunya transormasi budaya. Transformasi budaya menggambarkan bahwa petani sebagai komunitas yang dinamis. Menurut Wolf dalam Zakaria (1974) menyebutkan 3 ciri kategori petani :
- Seorang petani (peosant) menghasilkan komoditi pertaniannya dengan bercocok tanam.
- Seorang petani adalah pemilik atau penggarap yang mempunyai otoritas kontrol terhadap tanah yang digarapnya.
- Tujuan utama berproduksi bagi seorang petani adalah untuk keperluan rumah tangganya.
Dalam melangsungkan kegiatan pertaniannya, petani dihadapkan pada kenyataan yang mengharuskan petani mengambil keputusan, seperti apakah harus menerima teknologi baru atau tidak, serta apakah harus mengambil kredit atau tidak.
Selanjutnya yang akan kita bahas adalah budaya dan perilaku ekonomi petani industri. Budaya industri merupakan cerminan dari landasan sikap rasional sehingga lebih mengakses pada penguasaan teknologi untuk memecu kualitas, efisiensi, dan produktivitas. Ciri pertanian industri dan budaya adalah tipe solidaritas organis. Tipe solidaritas organis ditandai dengan adanya diferensiasi sosial melalui pembagian kerja yang tinggi. Tipe solidaritas organis perlu dibentuk untuk mewujudkan pertanian yang berorientasi nilai tambah (added valued). Dengan orientasi nilai tambah diharapkan mampu meningkatkan nilai tukar komoditi pertanian yang selama ini terus menurun.
Tantangan industrialisasi dan perdagangan bebas membutuhkan corak pertanian yang efisien, produktif, berdaya saing dan berorientasi nilai tambah. Corak pertanian demikian adalah padat teknologi dan berorientasi pasar. Jadi, pertanian dan industri tidak lagi sebagai dikotomi sektor tradisional modern, tetapi lebih merupakan perbedaan occupational status saja bagi masyarakat. Hal ini karena keduanya telah industrialized yang dicirikan dengan karakteristik budaya kerjanya yang sama.
Peran pemerintah dalam transformasi ke arah pertanian-industri sangatlah menentukan. Peran ini tidak hanya dalam level mikro berupa program-program pembangunan pertanian pedesaan secara langsung, tetapi juga pada level makro yang menyangkut keputusan politik dalam sistem ekonomi. Tantangan industrialisasi dan perdagangan bebas yang sudah di depan mata, perlu direspon secra cepat oleh sektor pertanian. Peran pemerintah terletak dalam mengaitkan pertanian untuk masuk dalam skema industrialisasi di Indonesia.
Kesadaran pemerintah bhawa pertanian telah dan akan mendukung industrialisasi adalah penting. Hal itu mengingat pengalaman-pengalaman industrialisasi yang berhasil di negara-negara maju, termasuk Korea Selatan , ternyata disebabkan karenaposisi pertanian yang sangat kuat. Maka, mempertangguh pertanian merupakan persyaratan bagi industrialisasi. Kisah Korea Selatan dapat menjadi representasi model industrialisasi dengan kekuatan sektor pertanian.
Bagi Indonesia di tengah industrialisasi dan perdagangan bebas ini, salah satu program yang signifikan sebagai perwujudan paradigma pertanian berbudaya industri adalah “ industrialisasi pedesaan”. Industrialisasi pedesaan akan mengoreksi dan memperbaiki keseimbangan struktur industri besar, sedang, dan kecil (Sajogyo dan Tambunan 1991). Dalam paradigma pertanian berbudaya industri, maka industrialisasi pedesaan tidak dimaknai semata-mata sebagai pembangunan “industri” secara fisik dan massal di pedesaan. Tetapi, lebih pada “ mengindustrikan” masyarakat pedesaan melalui “industrialisasi” pertanian di tingkat on farm (usaha tani) dengan arti mengarahkan pertanian ke cara kerja “industri” baik secara fisik (teknologi) maupun budaya dan organisasi kerja.
Peran negara dalam industrialisasi pedesaan tidak hanya dalam bentuk intervensi langsung melalui program-program sebagai mana peran negara dalam revolusi hijau, tetapi juga pada intervensi kebijaksanaan di luar sektor pertanian dan pedesaan agar kebijaksanaan tersebut memiliki kaitan signifikan bagi industrilisasi pertanian pedesaan.
Konsep-konsep tersebut perlu diperkuat dengan kemauan politik pemerintah.Disaat mayoritas masyarakat bergerak di sektor pertanian, maka selayaknya pertanian tetap dijadikan target industrialisasi dengan keterkaitan sektor pertanian dan industri yang kuat.
TUGAS PROPAGASI- Apa yang dimaksud dengan industrialisasi pertanian dan bagaimana seharusnya memaknai industrialisasi tersebut?
Industrialisasi pertanian merupakan perubahan dari pertanian tradisional menuju pertanian modern yang memiliki nilai tambah. Secara konseptual Industrialisasi pertanian menuntut sektor pertanian menjadi pertanian yang tangguh yaitu pertanian yang secara dinamis dan ulet mampu secara optimal memanfaatkan sumber daya alam, tenaga, modal dan teknologi yang ada pada lingkungan fisik dan sosial tempatnya berpijak, yang sekaligus mampu meningkatkan kesejahteraan petani dalam arti luas.
Dalam memaknai industrialisasi pertian kita dapat menerapkan tujuh strategi menuju industrialisasi pertanian yaitu peningkatan koordinasi antara Departemen Pertanian dengan Departemen Industri dan Perdagangan atau peningkatan wewenang Departemen Pertanian untuk melaksanakan program industrialisasi pertanian secara utuh, peningkatan aktivitas kerjasama dalam kelompok tani untuk meningkatkan aktivitas nilai tambah, peningkatan kemampuan petani dalam manajemen, teknologi tepat guna dan kewirausahaan, peningkatan supply chain management dari produsen ke konsumen, pemetaan potensi pertanian dan klaster agroindustri yang mampu memberikan kompetensi inti bagi perekonomian di berbagai kota/kabupaten, meningkatkan kerjasama di antara petani ataupun antara petani dengan pelaku bisnis di sektor agroindustri serta mengembangkan dan menerapkan berbagai model agroindustri yang dapat dilakukan petani untuk meningkatkan aktivitas nilai tambah terutama di bidang pemasaran, teknologi prosesing dan manajemen.
2.Berikan contoh kasus di daerah kalian tentang industrialiasasi pertanian atau transformasi ke arah pertanian berbudaya industri (sebutkan di daerah mana). Jelaskan dampak positif maupun negatifnya!
Jawab : pabrik tepung tapioka di daerah kandangan kabupaten kediri berencana untuk mengubah sistem pengolahan ketela pohon yang tadinya mengunakan tenaga manusia menjadi tenaga mesin yang diimpor dari luar negeri karena dianggap lebih efisien terrhadap waktu dan jumlahnya lebih mudah diprediksi.
Dampak negatifnya bagi para pekerja yang terrancam diphk.
Dampak positifnya produsen pabrik memperoleh keuntungan yang lebih besar
3.
Jelaskan
bagaimana budaya dan perilaku ekonomi petani industri. Apa perbedaan dengan
budaya atau perilaku peasant?
petani industri merupakan kebalikan dari peasant. petani industri mengakses penguasaan teknologi untuk memacu kualitas, efisiensi,, serta produktivitas. Pengambilan keputusan berdasarkan pengetahuan. menjunjung tinggi profesionalitas.
perbedaan petrani industri dengan peasant adalah:
peasant > petani sosial > subsistance > kebutuhan pokok > untuk menghidupi keluarga
petani industri > mencari keuntungan > efisiensi > mempengaruhi rofit.
4 . Gambarkan
dan jelaskan tahap perkembangan petani ?
Petani primitive -> petani subsisten -> petani petani komersial->petani industri
Perbandingan Masyarakat Primitif; Petani, dan Petani Modern
Primitif (Tribe) Petani (Peasant) Petani Modern (Farmer):
-Tribe
Bertani berpindah
Kebutuhan primer&kerabat
Ada ikatan dengan tetangga
Primitif (Tribe) Petani (Peasant) Petani Modern (Farmer):
-Tribe
Bertani berpindah
Kebutuhan primer&kerabat
Ada ikatan dengan tetangga
Surplus diserahkan ke golongan
Intensitas hubungan.dengan luar rendah
Intensitas hubungan.dengan luar rendah
Belum ada spesialisasi
Belum ada sewa tanah.
Belum ada sewa tanah.
-Peasant
Bertani tetap
Subsisten
Ada ikatan nilai-nilai
Surplus diserahkan ke penguasa
Intensitas hub.dengan luar tinggi
Semi spesialisasi/campuran
Sudah ada sewa tanah.
-Farmer
Rumah kaca
Keuntungan maksimum
Hubungan longgar dalam simbol
Surplus sebagai keuntungan
Mobilitas tinggi
Spesialisasi/profesional
Cenderung sewa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar