Disusun Oleh
Kelompok 3
1.
Devi Yunita Sari 155040100111021
2.
Andik Prasetyo 155040100111022
3.
Fitriyah 155040100111023
4.
Nur Azizah Dyahsari 155040100111024
5.
Lailatul Qomaria 155040100111025
6.
Maulina pramesti 155040101111001
Kelas A
Rintangan-Rintangan Mental Dalam
Pembangunan Ekonomi Di Indonesia Koentjaraningrat
Mendefinisi Faktor-Faktor
Mental
Faktor-faktor
mental adalah pengetahuan mengenai sistem nilai budaya atau cultural value
system dan mengenai sikap atau attitudes.
1.
Sistem nilai budaya,
merupakan suatu rangkaian dari konsepsi-konsepsi abstrak yang hidup dalam alam
pikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat, mengenai apa yang harus
dianggap penting dan berharga, tetapi juga mengenai apa yang dianggap remeh dan
tak berharga dalam hidup. Fungsi sistem budaya :
a.
Sebagai suatu pedoman tapi juga sebagai
pendorong kelakuan manusia dalam hidup, sehingga berfungsi juga.
b. Sebagai suatu sistem tata kelakuan; malahan sebagai salah
satu sistem tata kelakuan yang tertinggi di antara yang lain, seperti hukum
adat, aturan sopan santun dan sebagainya. Biasanya suatu sistem nilai budaya
yang tertentu.
2.
Sikap,
merupakan kecondongan yang berasal dari dalam diri si individu untuk
berkelakuan dengan suatu pola tertentu, terhadap suatu obyek berupa manusia,
hewan atau benda, akibat pendirian dan perasaannya terhadap obyek tersebut.
Skema
hubungan sistem sosial mempengaruhi sikap
Dalam Sistem budaya menghasilkan aturan-aturan (norma)
yang mempengaruhi pola-pola pikiran (anggapan,merealistikan) yang menghasilkan
pola-pola tindakan (putusan) yang nantinya akan menghasilkan suatu sikap
seseorang terhadap obyek tertentu.
2.
Kerangka
Untuk Menuju Sistem Nilai Budaya
Kerangka yang dimaksud adalah suatu
kerangka yang dipakai untuk meninjau kemungkinan-kemungkinan isi dari sistem
nilai budaya dalam suatu kebudayaan. Kerangka ini pernah diajukan oleh ahli
antropologi F.R. Kluckhon dan ahli sosiologi F.L. Strodtbeck dalam buku Variation in value orientation (1961). Mereka berpangkal pada Lima
Masalah Hidup yang Menentukan Orientasi Nilai Budaya Manusia yaitu:
1.
Masalah mengenai hakikat dan sifat hidup
manusia
2.
Masalah mengenai hakikat dari karya
manusia
3.
Masalah mengenai hakikat dari kedudukan
manusia dalam ruang waktu
4.
Masalah mengenai hakikat drai hubungan
manusia dengan alam sekitarnya
5.
Masalah mengenai hakikat dari hubunngan
manusia dengan sesamanya.
Berikut
adalah kerangka menurut Kluchkon:
Masalah
Hidup
|
Orientasi
Nilai Budaya
|
||
Hakikat dan sifat hidup manusia
|
Hidup
itu buruk
|
Hidup
itu baik
Hidup
itu buruk
|
Tetapi
harus diperbaiki
|
Hakikat
karya manusia
|
Karya
itu untuk hidup
|
Karya
itu untuk kedudukan
|
Karya
itu untuk menambah karya
|
Hakikat
kedudukan manusia dalam ruang waktu
|
Masa
lalu
|
Masa
kini
|
Masa
depan
|
Hakikat
hubungan manusia dengan alam
|
Tunduk
terhadap alam
|
Mencari
keselarasan dengan alam
|
Mengusai
alam
|
Hakikat
hubungan manusia dengan sesamanya
|
Memandang
tokoh tokoh atasan
|
Mementingkan
rasa ketergantungan kepada sesamanya (berjiwa gotong royong)
|
Mementingkan
rasa tak ketergantungan kepada sesamanya (berjiwa individualis)
|
(3) Ciri-Ciri
Mental Manusia Indonesia Asli
Sebagian besar masyarakat di
Indonesia bekerja sebagai petani, oleh karena itu cara berpikir mereka adalah
cara berpikir rakyat petani. R. Redfield, ahli antropologi menganggap bahwa
petani atau peasant adalah rakyat pedesaan yang hidup dari pertanian dengan
teknologi lama, tetapi yang merasakan
diri bagian bawah dari suatu kebudayaan yang lebih besar, dengan suatu bagian
atas yang dianggap lebih halus dan beradab di dalam masyarakat kota. Sistem
perekonomian mereka berdasarkan pertanian. Tonnies, 1887 mengungkapkan bahwa
watak petani dijiwai oleh maksud serba rela, atau wesenwille dalam pergaulan,
sedangkan Boeke berpendapat bahwa watak petani tidak suka bekerja, bersifat
statis, tak mempunyai inisiatif, dan hanya suka membebek saja kepada
orang-orang tinggi dari kota.
Saat
ini, ahli sosiologi telah meninggalkan konsepsi seperti hal tersebut. Kini
mereka banyak mempelajari dan memahami masyarakat pedesaan itu dari dalam, dan
mereka mulai meninggalkan anggapan-anggapan mereka yang tidak sesuai dengan
keadaan sebenarnya. Mungkin satu abad yang lalu antara masyarakat pedesaan dan
masyarakat kota mudah dibedakan, namun untuk saat ini tidak bisa karena adanya
urbansasi dan saling membawawa ciri-ciri khas mereka masing-masing. Namun dalam
hal seperti jumlah penduduk, heterogenitas penduduk, dan tingkat teknologi
modern masyarakat pedesaan dan masyarakat kota bisa dibedakan.
Kita
bisa menentukan ciri-ciri pokok yang dominan dari sistem nilai budaya petani
yaitu kebudayaan yang beraneka warna wujudnya tetapi dasarnya sama.hal ini
sesuai fakta bahwa suatu sistem nilai budaya itu kalau tidak terpaksa, tidak
akan berubah dengan kecepatan yang sama dengan susunan masyarakat ataupun
sistem ekonomi. Walaupun petani sudah banyak yang pindah ke kota, mereka tetap
membawa sistem nilai budayanya. Secara singkat bisa dikatakan bahwa sistem
nilai budaya petani adalah suatu konsep yang nyata da nada, tidak hanya pada
orang petani di desa, tetapi masih juga pada orang-orang yang sudah lama di
kota. Untuk tidak menimbulkan salah paham, maka kita hindari kata masyarakat
petani, tetapi bicara tentang sistem nilai budaya dalam "orde sosial"
petani.
Cara berpikir dan mentalitet rakyat petani di
Indonesia itu telah sejak lama menjadi perhatian para ahli, terutama para ahli
hukum adat Indonesia. Para
ahli tersebut adalah F.D.E.
van Ossenbruggen (1911; 1916), J. Mallinckrodt (1928), Sukamto (1933) dan N.W. Lesquillier (1934)
dalam analisa mereka, semua ahli tersebut bicara tentang adanya suatu sifat
religiomagis yang menghinggapi cara berpikir rakyat petani di daerah pedesaan
di Indonesia itu, dan beberapa di antara mereka telah menghubungkan mentalitet
serupa itu dengan kelakuan ekonomis dari rakyat petani di beberapa tempat di
Indonesia (Kruyt, 1923; Ossenbruggen, 1935).
Untuk menyusun perkiraan
itu secara sistematis dan menyeluruh, kita bisa memakai sebagai pegangan,
kerangka Kluckhon. Berdasarkan kerangka itu, maka dapat kita rumuskan sistem
nilai budaya petani Indonesia itu sebagai berikut:
1.
orang tani di Indonesia, terutama di Jawa, pada dasarnya
menganggap hidupnya itu sebagai sesuatu hal yang buruk penuh dosa dan
kesengsaraan tetapi itu tidak
berarti bahwa ia harus demikian saja menghindari hidup yang nyata dan mengundurkan diri dengan bersembunyi di alam kebatinan atau dengan bertapa. Ia malahan wajib menyadari keburukan hidup itu dengan berlaku prihatin dan ikhtiar.
berarti bahwa ia harus demikian saja menghindari hidup yang nyata dan mengundurkan diri dengan bersembunyi di alam kebatinan atau dengan bertapa. Ia malahan wajib menyadari keburukan hidup itu dengan berlaku prihatin dan ikhtiar.
2.
Orang petani di Indonesia bekerja untuk hidup, kadang-kadang kalau
mungkin untuk mencapai kedudukan. Ia hanya mempunyai perhatian untuk hari
sekarang ini, bagaimana keadaan hari kemudian, ia tidak perduli; ia terlampau
miskin untuk dapat memikirkan hal itu; hanya kadang-kadang ia rindu akan masa
yang lampau, yang menurut dongeng-dongeng orang tua merupakan suatu masa
kejayaan itu.
3.
Pada umumnya alam tidak mengerikan bagi petani di Indonesia. Kalau
kadang-kadang ada bencana alam berupa gunung meletus, atau air bah besar, ia
hanya menerimanya sebagai suatu nasib yang kebetulan buruk saja. Asal ia dapat
menyelaraskan diri saja dengan alam sekitarnya, maka amanlah hidupnya. Itulah
sebabnya ia harus menghadapi sesamanya dengan jiwa gotong-royong, terutama ia
harus sadar bahwa dalam hidupnya itu ia pada hakikatnya tergantung kepada
sesamanya; maka dari itulah ia harus selalu berusaha untuk memelihara hubungan
baik dengan sesamanya.
Hal diatas adalah perkiraan mengenai mentalitas petani Indonesia terutama
Jawa dan untuk penjelasan lebih lanjutnya perlu dilakukan penelitian ilmiah
dengan meluas dan dalam. Selain itu akan tampak mentalitas rakyat pedesaan yang
kemungkinan bisa berubah-ubah, menurut keadaan dan berbagai macam lapangan
hidup yang berbeda-beda.
Selanjutnya adalah pertanyaan pokok
karangan ini yaitu Seandainya sebagian besar dari rakyat petani Indonesia,
terutama petani Jawa itu, memang mempunyai mentalitas seperti terurai di atas,
atau variasi-variasi dari mentalitas itu, apakah rakyat Indonesia cocok untuk
melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat serba ekonomis. Dan mari kita analisa satu-persatu dengan
susunan yang urut berdasarkan kerangka Kluckchon.
a.
Hakikat Hidup. Mentalitas yang menganggap hidup
pada hakikatnya buruk, tetapi dengan mengubah
sesuatu hal menjadi baik dan
menyenangkan , itu merupakan hal yang
cocok untuk pembangunan, dikarenakan ihtiar dan usaha itu sendi-sendi penting
dari segala aktivitas berproduksi dan membangun.
b. Hakikat
Karya. Manusia hanya kerja untuk hidup saja, tentunya itu tidak
cocok dengan pembangunan ekonomi. Orang yang bernilai budaya seperti itu akan
bekerja keras sarnpai ia dapat menghasilkan apa yang dibutuhkannya untuk hidup,
sedangkan kebutuhan untuk kerja lebih lanjut supaya bisa menghasilkan lebih banyak
lagi, tidak akan ada . Mentalitas yang lebih cocok untuk pembangunan sebenarnya
harus mengandung pandangan yang menilai tinggi karya untuk mencapai suatu
kedudukan yang dapat menghasilkan lebih banyak kerja lagi. Suatu pandangan
serupa itu, akan memberi dorongan kepada si individu untuk selalu mempergiat
karyanya tanpa batas, hal itu disebabkan karena mementingkan karya untuk karya,
dengan sendirinya akan memupuk rasa untuk kualitet dan kebutuhan untuk mencapai
mutu dari karya dan daya kreativitas
c. Hakikat Kedudukan Manusia dalam Ruang Waktu. Berorientasi terhadap hari sekarang dan kurang memperhitungkan
hari depan, Ini tidak cocok untuk pembangunan
ekonomi, karena pembangunan yang hendak
berhasil baik dan sebenarnya tiap-tiap usaha ekonomi membutuhkan perencanaan
dan kemampuan untuk itu, tidak lain dari suatu kemampuan untuk melihat setajam
mungkin, apakah yang akan dapat terjadi di hari depan.
d.
Hakikat
Hubungan Manusia dengan Alam. Mentalitas yang
berusaha mencari keselarasan dengan alam secara tidak langsung menghambat
pembangunan ekonomi. Karena selaras berarti ingin menyamakan tidak memberikan inovasi atau
sesuatu yang baru. Mentalitas yang baik yang sebenarnya cocok dengan
pembangunan ekonomi adalah mentalitas yang menguasai alam. Karena, mentalitas
seperti itu merupakan pangkal dari semua inovasi dan kemajuan teknologi.
Kemajuan teknologi adalah salah satu syarat primer bagi pembangunan ekonomi
kedepannya.
e.
Hakikat
hubungan manusia dengan sesamanya. Orang petani di
Indonesia biasanya menghadapi sesamanya dengan jiwa gotong royong. Mentalitas
jiwa gotong royong memiliki dua peranan yaitu bisa menghambat dan sedikit
membantu dalam pembangunan ekonomi.
Sebenarnya, jiwa
gotong royong memiliki tiga tema pemikiran :
1.
Orang itu harus sadar
bahwa dalam hidupnya selalu tergantung dengan sesama
2.
Orang itu harus
bersedia membantu sesamanya
3.
Orang itu harus
bersifat conform, (selalu ingat jangan berusaha menonjol melebihi yang lain
dalam masyarakatnya)
Dalam hal jiwa hubungan manusia antar sesamanya
pertama, hal yang membuat menghambat
pembangunan dapat dicontohkan seperti orang di Amerika melihat anak kecil
terjatuh, namun orang disekitarnya diam saja atau membiarkan anak kecil
tersebut untuk berusaha bangun sendiri. Hal itu dimaksudkan agar anak kecil
tersebut dibiasakan mampu tanpa banyak bergantung kepada orang lain dan
berusaha dengan dirinya sendiri. Berbeda dengan apa yang dilakukan di Indonesia
apabila ada anak kecil terjatuh orang-orang terburu buru langsung menolongnya.
Yang kedua dalam hal yang positif. Kegiatan gotong
royong diterapkan di masyarakat pedesaan seperti dalam hal tolong menolong
terhadap sesama, kerja bakti, apabila ada kecelakaan atau kematian, ada
keperluan dalam rumah tangga dan sebagainya. Dahulu kerja bakti digunakan oleh
kerajaan-kerajaan pribumi sebagai bentuk membayar pajak, namun saat ini tetap
berjalan tetapi dimanfaatkan pemerintah untuk memelihara jalan membangun
jembatan dan untuk membangun gedung gedung umum.
Berdasar tema yang kedua dapat
dijelaskan seperti adat tolong menolong dalam kecelakaan, dalam kematian, bantu
membantu dalam hajad sebaiknya harus tetap dipelihara. Karena apabila tidak
dipelihara seiring berjalannya waktu akan terjadi modernisasi kehidupan rumah
tangga berdasarkan teknologi modern.
Tema
yang ketiga yaitu manusia harus bersifat conform, sebenarnya tema tersebut
kurang cocok untuk pembangunan ekonomi karena dalam pembangunan ekonomi
dibutuhkan suatu prestasi yang menonjol atau prestasi besar karena prestasi
yang baik merupakan sendi dari kemajuan dan pembangunan. Sedangkan mentalitas
para petani dimana ada tanggapan umum bahwa orang itu sebaiknya jangan berusaha
menonjol melebihi sesamanya di masyarakat apabila hal itu terjadi maka yang
didapat bukanlah pujian, tetapi malah ceelaan
Hakikat
Hubungan Manusia dengan Alam
Mentalitas
yang berusaha mencari keselarasan dengan alam secara tidak langsung menghambat
pembangunan ekonomi. Karena selaras berarti ingin menyamakan tidak memberikan inovasi atau
sesuatu yang baru. Mentalitas yang baik yang sebenarnya cocok dengan
pembangunan ekonomi adalah mentalitas yang menguasai alam. Karena, mentalitas
seperti itu merupakan pangkal dari semua inovasi dan kemajuan teknologi.
Kemajuan teknologi adalah salah satu syarat primer bagi pembangunan ekonomi
kedepannya. (Maulina)
Hakikat
hubungan manusia dengan sesamanya
Orang
petani di Indonesia biasanya menghadapi sesamanya dengan jiwa gotong royong.
Mentalitas jiwa gotong royong memiliki dua peranan yaitu bisa menghambat dan
sedikit membantu dalam pembangunan ekonomi.
Sebenarnya, jiwa gotong
royong memiliki tiga tema pemikiran :
1.
Orang itu harus sadar bahwa dalam
hidupnya selalu tergantung dengan sesama
2.
Orang itu harus bersedia membantu
sesamanya
3.
Orang itu harus bersifat conform,
(selalu ingat jangan berusaha menonjol melebihi yang lain dalam masyarakatnya)
Dalam
hal jiwa hubungan manusia antar sesamanya pertama, hal yang membuat menghambat pembangunan dapat
dicontohkan seperti orang di Amerika melihat anak kecil terjatuh, namun orang
disekitarnya diam saja atau membiarkan anak kecil tersebut untuk berusaha
bangun sendiri. Hal itu dimaksudkan agar anak kecil tersebut dibiasakan mampu
tanpa banyak bergantung kepada orang lain dan berusaha dengan dirinya sendiri.
Berbeda dengan apa yang dilakukan di Indonesia apabila ada anak kecil terjatuh
orang-orang terburu buru langsung menolongnya.
Yang kedua dalam hal yang positif. Kegiatan gotong royong
diterapkan di masyarakat pedesaan seperti dalam hal tolong menolong terhadap
sesama, kerja bakti, apabila ada kecelakaan atau kematian, ada keperluan dalam
rumah tangga dan sebagainya. Dahulu kerja bakti digunakan oleh kerajaan-kerajaan
pribumi sebagai bentuk membayar pajak, namun saat ini tetap berjalan tetapi
dimanfaatkan pemerintah untuk memelihara jalan membangun jembatan dan untuk
membangun gedung gedung umum.
Berdasar tema yang kedua dapat dijelaskan seperti adat
tolong menolong dalam kecelakaan, dalam kematian, bantu membantu dalam hajad
sebaiknya harus tetap dipelihara. Karena apabila tidak dipelihara seiring
berjalannya waktu akan terjadi modernisasi kehidupan rumah tangga berdasarkan
teknologi modern.
Tema yang ketiga yaitu manusia harus bersifat conform,
sebenarnya tema tersebut kurang cocok untuk pembangunan ekonomi karena dalam
pembangunan ekonomi dibutuhkan suatu prestasi yang menonjol atau prestasi besar
karena prestasi yang baik merupakan sendi dari kemajuan dan pembangunan.
Sedangkan mentalitas para petani dimana ada tanggapan umum bahwa orang itu
sebaiknya jangan berusaha menonjol melebihi sesamanya di masyarakat apabila hal
itu terjadi maka yang didapat bukanlah pujian, tetapi malah ceelaan. (Maulina)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar