Senin, 05 Oktober 2015

Rintangan-Rintangan Mental Dalam Pembangunan Ekonomi Di Indonesia Koentjaraningrat





Disusun Oleh
Kelompok 3
1.      Devi Yunita Sari                           155040100111021
2.      Andik Prasetyo                             155040100111022
3.      Fitriyah                                          155040100111023
4.      Nur Azizah Dyahsari                    155040100111024
5.      Lailatul Qomaria                           155040100111025
6.      Maulina pramesti                           155040101111001
Kelas A



Rintangan-Rintangan Mental Dalam Pembangunan Ekonomi Di Indonesia Koentjaraningrat

Mendefinisi Faktor-Faktor  Mental
Faktor-faktor mental adalah pengetahuan mengenai sistem nilai budaya atau cultural value system dan mengenai sikap atau attitudes.
1.      Sistem nilai budaya, merupakan suatu rangkaian dari konsepsi-konsepsi abstrak yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar dari warga suatu masyarakat, mengenai apa yang harus dianggap penting dan berharga, tetapi juga mengenai apa yang dianggap remeh dan tak berharga dalam hidup. Fungsi sistem budaya :
a.       Sebagai suatu pedoman tapi juga sebagai pendorong kelakuan manusia dalam hidup, sehingga berfungsi juga.
b.      Sebagai suatu sistem tata kelakuan; malahan sebagai salah satu sistem tata kelakuan yang tertinggi di antara yang lain, seperti hukum adat, aturan sopan santun dan sebagainya. Biasanya suatu sistem nilai budaya yang tertentu.

2.    Sikap, merupakan kecondongan yang berasal dari dalam diri si individu untuk berkelakuan dengan suatu pola tertentu, terhadap suatu obyek berupa manusia, hewan atau benda, akibat pendirian dan perasaannya terhadap obyek tersebut.


Skema hubungan sistem sosial mempengaruhi sikap

Dalam  Sistem budaya menghasilkan aturan-aturan (norma) yang mempengaruhi pola-pola pikiran (anggapan,merealistikan) yang menghasilkan pola-pola tindakan (putusan) yang nantinya akan menghasilkan suatu sikap seseorang terhadap obyek tertentu.
           

2.      Kerangka Untuk Menuju Sistem Nilai Budaya
            Kerangka yang dimaksud adalah suatu kerangka yang dipakai untuk meninjau kemungkinan-kemungkinan isi dari sistem nilai budaya dalam suatu kebudayaan. Kerangka ini pernah diajukan oleh ahli antropologi F.R. Kluckhon dan ahli sosiologi F.L. Strodtbeck dalam buku Variation in value orientation  (1961). Mereka berpangkal pada Lima Masalah Hidup yang Menentukan Orientasi Nilai Budaya Manusia yaitu:
1.      Masalah mengenai hakikat dan sifat hidup manusia
2.      Masalah mengenai hakikat dari karya manusia
3.      Masalah mengenai hakikat dari kedudukan manusia dalam ruang waktu
4.      Masalah mengenai hakikat drai hubungan manusia dengan alam sekitarnya
5.      Masalah mengenai hakikat dari hubunngan manusia dengan sesamanya.

Berikut adalah kerangka menurut Kluchkon:
Masalah Hidup
Orientasi Nilai Budaya
Hakikat  dan sifat hidup manusia
Hidup itu buruk
Hidup itu baik
Hidup itu buruk
Tetapi harus diperbaiki
Hakikat karya manusia
Karya itu untuk hidup
Karya itu untuk kedudukan
Karya itu untuk menambah karya
Hakikat kedudukan manusia dalam ruang waktu
Masa lalu
Masa kini
Masa depan
Hakikat hubungan manusia dengan alam
Tunduk terhadap alam
Mencari keselarasan dengan alam
Mengusai alam
Hakikat hubungan manusia dengan sesamanya
Memandang tokoh tokoh atasan
Mementingkan rasa ketergantungan kepada sesamanya (berjiwa gotong royong)
Mementingkan rasa tak ketergantungan kepada sesamanya (berjiwa individualis)


(3) Ciri-Ciri Mental Manusia Indonesia Asli
            Sebagian besar masyarakat di Indonesia bekerja sebagai petani, oleh karena itu cara berpikir mereka adalah cara berpikir rakyat petani. R. Redfield, ahli antropologi menganggap bahwa petani atau peasant adalah rakyat pedesaan yang hidup dari pertanian dengan teknologi lama, tetapi yang merasakan diri bagian bawah dari suatu kebudayaan yang lebih besar, dengan suatu bagian atas yang dianggap lebih halus dan beradab di dalam masyarakat kota. Sistem perekonomian mereka berdasarkan pertanian. Tonnies, 1887 mengungkapkan bahwa watak petani dijiwai oleh maksud serba rela, atau wesenwille dalam pergaulan, sedangkan Boeke berpendapat bahwa watak petani tidak suka bekerja, bersifat statis, tak mempunyai inisiatif, dan hanya suka membebek saja kepada orang-orang tinggi dari kota.
            Saat ini, ahli sosiologi telah meninggalkan konsepsi seperti hal tersebut. Kini mereka banyak mempelajari dan memahami masyarakat pedesaan itu dari dalam, dan mereka mulai meninggalkan anggapan-anggapan mereka yang tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. Mungkin satu abad yang lalu antara masyarakat pedesaan dan masyarakat kota mudah dibedakan, namun untuk saat ini tidak bisa karena adanya urbansasi dan saling membawawa ciri-ciri khas mereka masing-masing. Namun dalam hal seperti jumlah penduduk, heterogenitas penduduk, dan tingkat teknologi modern masyarakat pedesaan dan masyarakat kota bisa dibedakan.
            Kita bisa menentukan ciri-ciri pokok yang dominan dari sistem nilai budaya petani yaitu kebudayaan yang beraneka warna wujudnya tetapi dasarnya sama.hal ini sesuai fakta bahwa suatu sistem nilai budaya itu kalau tidak terpaksa, tidak akan berubah dengan kecepatan yang sama dengan susunan masyarakat ataupun sistem ekonomi. Walaupun petani sudah banyak yang pindah ke kota, mereka tetap membawa sistem nilai budayanya. Secara singkat bisa dikatakan bahwa sistem nilai budaya petani adalah suatu konsep yang nyata da nada, tidak hanya pada orang petani di desa, tetapi masih juga pada orang-orang yang sudah lama di kota. Untuk tidak menimbulkan salah paham, maka kita hindari kata masyarakat petani, tetapi bicara tentang sistem nilai budaya dalam "orde sosial" petani.

Cara berpikir dan mentalitet rakyat petani di Indonesia itu telah sejak lama menjadi perhatian para ahli, terutama para ahli hukum adat Indonesia. Para ahli tersebut adalah F.D.E. van Ossenbruggen (1911; 1916), J. Mallinckrodt (1928), Sukamto (1933) dan N.W. Lesquillier (1934) dalam analisa mereka, semua ahli tersebut bicara tentang adanya suatu sifat religiomagis yang menghinggapi cara berpikir rakyat petani di daerah pedesaan di Indonesia itu, dan beberapa di antara mereka telah menghubungkan mentalitet serupa itu dengan kelakuan ekonomis dari rakyat petani di beberapa tempat di Indonesia (Kruyt, 1923; Ossenbruggen, 1935).
Untuk menyusun perkiraan itu secara sistematis dan menyeluruh, kita bisa memakai sebagai pegangan, kerangka Kluckhon. Berdasarkan kerangka itu, maka dapat kita rumuskan sistem nilai budaya petani Indonesia itu sebagai berikut:
1.      orang tani di Indonesia, terutama di Jawa, pada dasarnya menganggap hidupnya itu sebagai sesuatu hal yang buruk penuh dosa dan kesengsaraan tetapi itu tidak
berarti bahwa ia harus demikian saja menghindari hidup yang nyata dan mengundurkan diri dengan bersembunyi di alam kebatinan atau dengan bertapa. Ia malahan wajib menyadari keburukan hidup itu dengan berlaku prihatin dan ikhtiar.
2.      Orang petani di Indonesia bekerja untuk hidup, kadang-kadang kalau mungkin untuk mencapai kedudukan. Ia hanya mempunyai perhatian untuk hari sekarang ini, bagaimana keadaan hari kemudian, ia tidak perduli; ia terlampau miskin untuk dapat memikirkan hal itu; hanya kadang-kadang ia rindu akan masa yang lampau, yang menurut dongeng-dongeng orang tua merupakan suatu masa kejayaan itu.
3.      Pada umumnya alam tidak mengerikan bagi petani di Indonesia. Kalau kadang-kadang ada bencana alam berupa gunung meletus, atau air bah besar, ia hanya menerimanya sebagai suatu nasib yang kebetulan buruk saja. Asal ia dapat menyelaraskan diri saja dengan alam sekitarnya, maka amanlah hidupnya. Itulah sebabnya ia harus menghadapi sesamanya dengan jiwa gotong-royong, terutama ia harus sadar bahwa dalam hidupnya itu ia pada hakikatnya tergantung kepada sesamanya; maka dari itulah ia harus selalu berusaha untuk memelihara hubungan baik dengan sesamanya.

Hal diatas adalah perkiraan  mengenai mentalitas petani Indonesia terutama Jawa dan untuk penjelasan lebih lanjutnya perlu dilakukan penelitian ilmiah dengan meluas dan dalam. Selain itu akan tampak mentalitas rakyat pedesaan yang kemungkinan bisa berubah-ubah, menurut keadaan dan berbagai macam lapangan hidup yang berbeda-beda.

Selanjutnya adalah pertanyaan pokok karangan ini yaitu Seandainya sebagian besar dari rakyat petani Indone­sia, terutama petani Jawa itu, memang mempunyai mentalitas seperti terurai di atas, atau variasi-variasi dari mentalitas itu, apakah rakyat Indonesia cocok untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat serba ekonomis. Dan mari kita analisa satu-persatu dengan susunan yang urut berdasarkan kerangka Kluckchon.
a.      Hakikat Hidup. Mentalitas yang menganggap hidup pada hakikatnya buruk, tetapi dengan mengubah  sesuatu hal menjadi  baik dan menyenangkan , itu merupakan  hal yang cocok untuk pembangunan, dikarenakan ihtiar dan usaha itu sendi-sendi penting dari segala aktivitas berproduksi dan membangun.
b.      Hakikat Karya. Manusia  hanya kerja untuk hidup saja, tentunya itu tidak cocok dengan pembangunan ekonomi. Orang yang bernilai budaya seperti itu akan bekerja keras sarnpai ia dapat menghasilkan apa yang dibutuhkannya untuk hidup, sedangkan kebutuhan untuk kerja lebih lanjut supaya bisa menghasilkan lebih banyak lagi, tidak akan ada . Mentalitas yang lebih cocok untuk pembangunan sebenarnya harus mengandung pandangan yang menilai tinggi karya untuk mencapai suatu kedudukan yang dapat menghasilkan lebih banyak kerja lagi. Suatu pandangan serupa itu, akan memberi dorongan kepada si individu untuk selalu mempergiat karyanya tanpa batas, hal itu disebabkan karena mementingkan karya untuk karya, dengan sendirinya akan memupuk rasa untuk kualitet dan kebutuhan untuk mencapai mutu dari karya dan daya kreativitas
c.       Hakikat Kedudukan Manusia dalam Ruang Waktu. Berorientasi terhadap hari sekarang dan kurang memperhitungkan hari depan, Ini tidak cocok untuk pembangunan ekonomi, karena pembangunan yang hendak  berhasil baik dan sebenarnya tiap-tiap usaha ekonomi membutuhkan perencanaan dan kemampuan untuk itu, tidak lain dari suatu kemampuan untuk melihat setajam mungkin, apakah yang akan dapat terjadi di hari depan.
d.      Hakikat Hubungan Manusia dengan Alam. Mentalitas yang berusaha mencari keselarasan dengan alam secara tidak langsung menghambat pembangunan ekonomi. Karena selaras berarti ingin  menyamakan tidak memberikan inovasi atau sesuatu yang baru. Mentalitas yang baik yang sebenarnya cocok dengan pembangunan ekonomi adalah mentalitas yang menguasai alam. Karena, mentalitas seperti itu merupakan pangkal dari semua inovasi dan kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi adalah salah satu syarat primer bagi pembangunan ekonomi kedepannya.
e.       Hakikat hubungan manusia dengan sesamanya. Orang petani di Indonesia biasanya menghadapi sesamanya dengan jiwa gotong royong. Mentalitas jiwa gotong royong memiliki dua peranan yaitu bisa menghambat dan sedikit membantu dalam pembangunan ekonomi.
Sebenarnya, jiwa gotong royong memiliki tiga tema pemikiran :
1.      Orang itu harus sadar bahwa dalam hidupnya selalu tergantung dengan sesama
2.      Orang itu harus bersedia membantu sesamanya
3.      Orang itu harus bersifat conform, (selalu ingat jangan berusaha menonjol melebihi yang lain dalam masyarakatnya)
Dalam hal jiwa hubungan manusia antar sesamanya pertama, hal  yang membuat menghambat pembangunan dapat dicontohkan seperti orang di Amerika melihat anak kecil terjatuh, namun orang disekitarnya diam saja atau membiarkan anak kecil tersebut untuk berusaha bangun sendiri. Hal itu dimaksudkan agar anak kecil tersebut dibiasakan mampu tanpa banyak bergantung kepada orang lain dan berusaha dengan dirinya sendiri. Berbeda dengan apa yang dilakukan di Indonesia apabila ada anak kecil terjatuh orang-orang terburu buru langsung  menolongnya.
Yang kedua dalam hal yang positif. Kegiatan gotong royong diterapkan di masyarakat pedesaan seperti dalam hal tolong menolong terhadap sesama, kerja bakti, apabila ada kecelakaan atau kematian, ada keperluan dalam rumah tangga dan sebagainya. Dahulu kerja bakti digunakan oleh kerajaan-kerajaan pribumi sebagai bentuk membayar pajak, namun saat ini tetap berjalan tetapi dimanfaatkan pemerintah untuk memelihara jalan membangun jembatan dan untuk membangun gedung gedung umum.
           Berdasar tema yang kedua dapat dijelaskan seperti adat tolong menolong dalam kecelakaan, dalam kematian, bantu membantu dalam hajad sebaiknya harus tetap dipelihara. Karena apabila tidak dipelihara seiring berjalannya waktu akan terjadi modernisasi kehidupan rumah tangga berdasarkan teknologi modern.
           Tema yang ketiga yaitu manusia harus bersifat conform, sebenarnya tema tersebut kurang cocok untuk pembangunan ekonomi karena dalam pembangunan ekonomi dibutuhkan suatu prestasi yang menonjol atau prestasi besar karena prestasi yang baik merupakan sendi dari kemajuan dan pembangunan. Sedangkan mentalitas para petani dimana ada tanggapan umum bahwa orang itu sebaiknya jangan berusaha menonjol melebihi sesamanya di masyarakat apabila hal itu terjadi maka yang didapat bukanlah pujian, tetapi malah ceelaan

Hakikat Hubungan Manusia dengan Alam
Mentalitas yang berusaha mencari keselarasan dengan alam secara tidak langsung menghambat pembangunan ekonomi. Karena selaras berarti ingin  menyamakan tidak memberikan inovasi atau sesuatu yang baru. Mentalitas yang baik yang sebenarnya cocok dengan pembangunan ekonomi adalah mentalitas yang menguasai alam. Karena, mentalitas seperti itu merupakan pangkal dari semua inovasi dan kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi adalah salah satu syarat primer bagi pembangunan ekonomi kedepannya. (Maulina)
 Hakikat hubungan manusia dengan sesamanya
Orang petani di Indonesia biasanya menghadapi sesamanya dengan jiwa gotong royong. Mentalitas jiwa gotong royong memiliki dua peranan yaitu bisa menghambat dan sedikit membantu dalam pembangunan ekonomi.
Sebenarnya, jiwa gotong royong memiliki tiga tema pemikiran :
1.      Orang itu harus sadar bahwa dalam hidupnya selalu tergantung dengan sesama
2.      Orang itu harus bersedia membantu sesamanya
3.      Orang itu harus bersifat conform, (selalu ingat jangan berusaha menonjol melebihi yang lain dalam masyarakatnya)

Dalam hal jiwa hubungan manusia antar sesamanya pertama, hal  yang membuat menghambat pembangunan dapat dicontohkan seperti orang di Amerika melihat anak kecil terjatuh, namun orang disekitarnya diam saja atau membiarkan anak kecil tersebut untuk berusaha bangun sendiri. Hal itu dimaksudkan agar anak kecil tersebut dibiasakan mampu tanpa banyak bergantung kepada orang lain dan berusaha dengan dirinya sendiri. Berbeda dengan apa yang dilakukan di Indonesia apabila ada anak kecil terjatuh orang-orang terburu buru langsung  menolongnya.
            Yang kedua dalam hal yang positif. Kegiatan gotong royong diterapkan di masyarakat pedesaan seperti dalam hal tolong menolong terhadap sesama, kerja bakti, apabila ada kecelakaan atau kematian, ada keperluan dalam rumah tangga dan sebagainya. Dahulu kerja bakti digunakan oleh kerajaan-kerajaan pribumi sebagai bentuk membayar pajak, namun saat ini tetap berjalan tetapi dimanfaatkan pemerintah untuk memelihara jalan membangun jembatan dan untuk membangun gedung gedung umum.
            Berdasar tema yang kedua dapat dijelaskan seperti adat tolong menolong dalam kecelakaan, dalam kematian, bantu membantu dalam hajad sebaiknya harus tetap dipelihara. Karena apabila tidak dipelihara seiring berjalannya waktu akan terjadi modernisasi kehidupan rumah tangga berdasarkan teknologi modern.

            Tema yang ketiga yaitu manusia harus bersifat conform, sebenarnya tema tersebut kurang cocok untuk pembangunan ekonomi karena dalam pembangunan ekonomi dibutuhkan suatu prestasi yang menonjol atau prestasi besar karena prestasi yang baik merupakan sendi dari kemajuan dan pembangunan. Sedangkan mentalitas para petani dimana ada tanggapan umum bahwa orang itu sebaiknya jangan berusaha menonjol melebihi sesamanya di masyarakat apabila hal itu terjadi maka yang didapat bukanlah pujian, tetapi malah ceelaan. (Maulina)